By: Yudi Guntara
Fenomena “Sound Horeg”: Ketika Hiburan Berubah Jadi Ancaman
Di tengah hiruk-pikuk acara kampanye, hajatan, atau panggung hiburan keliling di Jawa Timur, masyarakat kerap dihadapkan pada fenomena “sound horeg”—truk yang dipasang sound system raksasa dengan bass menggema hingga radius ratusan meter. Suara yang dihasilkan bukan sekadar bising, tapi memicu keluhan fisik seperti mual, pusing, hingga gangguan tidur. Dari kacamata fisika, fenomena ini menyimpan bahaya yang sering diabaikan.
Fisika di Balik “Sound Horeg”: Gelombang yang Menggetarkan Tubuh
Resonansi yaitu fenomena ketika frekuensi suara eksternal sesuai dengan frekuensi alami suatu objek, menyebabkan peningkatan amplitudo getaran secara drastis. Pada kasus “sound horeg”, resonansi dengan organ tubuh manusia menjadi ancaman serius. Contohnya, jantung yang berfrekuensi alami 1–2 Hz dan paru-paru (4–8 Hz) dapat terganggu oleh infrasonik (<20 Hz) dari bass ekstrem yang memicu gangguan keseimbangan. Mata dengan frekuensi alami 18–27 Hz juga rentan mengalami gangguan penglihatan sementara, sementara otak—yang beroperasi pada frekuensi delta (0,5–4 Hz)—dapat terganggu gelombangnya oleh infrasonik, menyebabkan pusing atau kecemasan. Fakta ini diperkuat studi Persinger (2014) yang menunjukkan paparan infrasonik 5–10 Hz memicu disorientasi dan mual.
Selain tubuh manusia, resonansi juga mengancam struktur fisik. Bangunan, kaca, atau kendaraan memiliki frekuensi alami rendah (<10 Hz) yang dapat beresonansi dengan bass ekstrem, berisiko menyebabkan retakan. Contoh nyata adalah Jembatan Tacoma Narrows di AS (1940) yang runtuh akibat resonansi angin berfrekuensi 0,2 Hz. Sementara itu, tingkat kebisingan “sound horeg” yang mencapai 120–140 dB—setara mesin jet atau konser rock—menjadi ancaman langsung bagi pendengaran. Paparan >15 menit pada intensitas ini mampu merusak sel rambut koklea di telinga dalam, menyebabkan tuli permanen. Sebagai perbandingan, ambang batas aman suara menurut penelitian Schwela (2022) adalah <85 dB, setara dengan suara lalu lintas ramai. Kombinasi frekuensi rendah dan desibel ekstrem ini menjadikan “sound horeg” sebagai fenomena yang tak hanya mengganggu, tetapi juga merusak.
Dampak Kesehatan: Dari Telinga Berdenging hingga Stres Kronis
Paparan suara ekstrem dari fenomena “sound horeg” tidak hanya mengancam pendengaran, tetapi juga berdampak sistemik pada kesehatan. Suara di atas 120 dB dapat merusak sel rambut di telinga dalam hanya dalam hitungan menit, memicu tuli permanen atau tinnitus (telinga berdenging). Lebih jauh, frekuensi rendah yang dihasilkan bass berat meningkatkan detak jantung dan tekanan darah secara signifikan, seperti dibuktikan dalam studi Feidihal (2012), yang mengaitkan paparan infrasonik dengan risiko hipertensi dan gangguan kardiovaskular. Dampak kronisnya muncul pada kualitas tidur: kebisingan malam hari mengacaukan fase tidur REM—fase kritis untuk pemulihan fisik dan mental. Gangguan ini berujung pada kelelahan kronis, penurunan konsentrasi, hingga peningkatan hormon stres kortisol. Dengan kata lain, “sound horeg” bukan sekadar gangguan sesaat, tapi bom waktu bagi kesehatan fisik dan mental.
Regulasi Kebisingan
Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 56/2019, batas kebisingan di pemukiman adalah 55 dB pada malam hari. Namun, truk “sound horeg” sering melampaui 80–90 dB di radius 50 meter. Sanksinya, pelanggar bisa didenda hingga Rp50 juta berdasarkan Perda Jawa Timur No. 2/2014, tetapi penegakan hukum masih lemah.
Solusi
Mengatasi fenomena “sound horeg” membutuhkan sinergi tiga pilar: teknologi, edukasi, dan hukum. Dari sisi teknis, pemasangan limiter decibel dapat membatasi output suara maksimal ke tingkat aman (<85 dB), sementara penggunaan bahan peredam seperti karet atau busa di bawah speaker mengurangi getaran yang merambat ke tanah dan bangunan. Edukasi publik juga krusial—kampanye melalui sekolah dan media lokal perlu digencarkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya paparan suara ekstrem, mulai dari gangguan pendengaran hingga risiko kardiovaskular. Namun, solusi tak akan efektif tanpa penegakan hukum yang tegas. Satpol PP dan polisi lingkungan perlu melakukan patroli rutin dengan alat pengukur desibel, menjatuhkan sanksi denda atau pencabutan izin bagi pelanggar, sesuai Perda Jawa Timur No. 2/2014. Dengan kolaborasi ini, gelombang suara yang awalnya merusak dapat diarahkan menjadi hiburan yang bertanggung jawab.
“Jangan terkecoh gemuruh bass yang menggema—di balik ‘sound horeg’ tersembunyi gelombang diam yang menggerogoti kesehatan. Fisika membuktikan: suara tak hanya didengar, tapi dirasakan hingga ke sel-sel tubuh. Saat decibel melambung, yang terancam bukan hanya ketenangan, tapi nyawa.”
Rujukan
Feidihal, F. (2012). Tingkat Kebisingan Dan Pengaruhnya Terhadap Mahasiswa Dibengkel Teknik Mesin Poiteknik Negeri Padang. Jurnal Teknik Mesin, 4(1), 31–41.
Persinger, M. A. (2014). Infrasound, human health, and adaptation: an integrative overview of recondite hazards in a complex environment. Natural Hazards, 70(1), 501–525.
Schwela, D. (2022). Review of environmental noise policies and actions in 2017-2021. South
Florida Journal of Health, 3(4), 329–352.
No responses yet